Beranda | Artikel
Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 134 - 136
Senin, 10 Desember 2018

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Yahya Badrusalam

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 134 – 136 adalah kajian tafsir Al-Quran yang disampaikan oleh: Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. Kajian ini beliau sampaikan di Masjid Al-Barkah, komplek studio Radio Rodja dan RodjaTV pada Selasa, 26 Rabbi’ul Awwal 1440 H / 04 Desember 2018 M.

Kajian Tafsir Al-Quran: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 134 – 136

Setelah mengisahkan tentang kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Yaqub ‘alaihissalam, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Surat Al-Baqarah Ayat 134:

تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ ۖ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُم مَّا كَسَبْتُمْ ۖ وَلَا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ ﴿١٣٤﴾

Itu adalah umat yang lalu; baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah[2]: 134)

Kata Syaikh Utsaimin, dari ayat ini kita ambil beberapa faidah:

Pertama, bersandar kepada perbuatan nenek moyang, berbangga dengan nenek moyang, bahwa nenek moyang kita dahulu begini dan begitu, itu tidak ada manfaatnya sama sekali. Maka kewajiban kita, tidak perlu kita berbangga dengan kehebatan nenek moyang kita. Yang kita pikirkan adalah amalan kita sendiri. Kita akan dihisab sesuai dengan amalan kita sendiri.

Kedua, isyarat bahwa selayaknya kita diam terhadap perselisihan yang terjadi diantara kalangan sahabat. Karena antara para sahabat terjadi peperangan. Misalnya antara pasukan Muawiyah dengan pasukan Ali, pasukan Ali dengan pasukan ‘Aisyah. Kewajiban kita diam saja dan tidak perlu kita memberikan komentar-komentar. Apalagi kalau komentarnya negatif. Mereka adalah umat yang sudah berlalu, mereka sudah mendapatkan balasan yang Allah berikan kepada mereka. Kewajiban kita adalah memikirkan diri kita sendiri. Adapun para sahabat, kewajiban kita untuk do’akan mereka supaya Allah mengampuni mereka. Yang jelas, kita yakini bahwa apa yang terjadi dikalangan para sahabat tidak terlepas dari dua hal. Siapa yang benar Ia mendapatkan dua pahala, siapa yang salah dia mendapatkan satu pahala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا َاجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذََا اجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

“Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia berhak mendapat dua pahala, namun jika ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu pahala” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketiga, bahwa manusia akan ditanya oleh Allah tentang amalan dia sendiri dan tidak akan ditanya tentang amalan orang lain. Amalan seseorang sesuai dengan yang diamalkan selama hidupnya. Tidak mungkin seseorang bisa mengambil amalan orang lain atau mengurangi atau menambah kecuali dengan izin dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Keempat, generasi akhir tidak akan ditanya tentang generasi awal. Tapi generasi awal, bisa saja ditanya tentang generasi akhir. Kalau generasi akhir berbuat kebaikan karena yang pertama kali melakukan yang ada generasi awal dan dia yang memberikan contoh, generasi awal akan mendapatkan pahala. Kalau generasi awal memberikan contoh yang buruk kemudian diamalkan oleh generasi akhir, generasi awal akan mendapatkan dosa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَا مِنْ نَفْسٍ تُقْتَلُ ظُلْمًا إِلاَّ كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ اْلأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا، ذَلِكَ بِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ

Tidak ada satu pun jiwa yang terbunuh secara zalim melainkan atas Ibnu Adam yang pertama bagian dari darahnya. Karena dialah yang mula-mula melakukan contoh pembunuhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka siapa yang memulai suatu amalan keburukan kemudian diikuti dari generasi ke generasi, dia akan mendapat dosanya terus-menerus.

Kelima, penetapkan bahwa Allah Maha Adil. Allah tidak akan menyiksa seseorang atas perbuatan yang tidak ia lakukan. Seorang ayah mungkin disiksa karena anaknya jika si ayah yang pertama kali mengajarkan keburukan. Tapi kalau si ayah sudah memberikan wasiat kebaikan, sudah mengerjakan kebaikan kemudian anaknya berbuat maksiat, si ayah tidak akan mendapatkan dosanya.

Keenam, penetapan bahwa manusia akan ditanya pada hari kiamat. Setiap manusia akan ditanya oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْكُمْ أَحَدٌ إِلَّا سَيُكَلِّمُهُ رَبُّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تُرْجُمَانٌ فَيَنْظُرُ أَيْمَنَ مِنْهُ فَلَا يَرَى إِلَّا مَا قَدَّمَ مِنْ عَمَلِهِ وَيَنْظُرُ أَشْأَمَ مِنْهُ فَلَا يَرَى إِلَّا مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلَا يَرَى إِلَّا النَّارَ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ فَاتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ

Tidak ada seorangpun dari kalian kecuali akan diajak bicara Rabb-nya tanpa ada penterjemah antara dia dengan Rabb-nya. Lalu ia melihat ke sebelah kanan, hanya melihat amalan yang pernah dilakukannya; dan ia melihat kekiri, hanya melihat amalan yang pernah dilakukannya. Lalu melihat ke depan, kemudian hanya melihat neraka ada di hadapannya.” (HR. Bukhari No. 6958)

Setiap kita akan ditanya tentang ilmu kita, tentang amal kita, tentang harta kita, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ

Tidaklah bergeser kedua kaki seorang hamba nanti pada hari kiamat, sehingga Allah akan menanyakan tentang (4 perkara:) (Pertama,) tentang umurnya dihabiskan untuk apa. (Kedua,) tentang ilmunya diamalkan atau tidak. (Ketiga,) Tentang hartanya, dari mana dia peroleh dan ke mana dia habiskan. (Keempat,) tentang tubuhnya, capek / lelahnya untuk apa.” (HR. Tirmidzi dan Tirmidzi berkara hasan shahih. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ad-Darimi dan lainnya dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad bin Nashiruddin Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah.)

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 135

Allah ta’ala berfirman:

وَقَالُوا كُونُوا هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ تَهْتَدُوا ۗ قُلْ بَلْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ﴿١٣٥﴾

Dan mereka berkata: “Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk”. Katakanlah: “Tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik”.“(QS. Al-Baqarah[2]: 135)

Orang Yahudi orang Nasrani mengajak semua orang supaya menjadi Yahudi atau Nasrani. Dan mereka mengklaim bahwa siapa yang mengikuti mereka akan mendapatkan hidayah. Hal ini menunjukkan bahwa semua orang yang menyeru kepada pemikirannya pasti menganggap bahwa pemikirannya yang benar. Firaun pun merasa dirinya benar. Allah berfirman:

…قَالَ فِرْعَوْنُ مَا أُرِيكُمْ إِلَّا مَا أَرَىٰ وَمَا أَهْدِيكُمْ إِلَّا سَبِيلَ الرَّشَادِ ﴿٢٩﴾

“…Fir’aun berkata: “Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik; dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar”.” (QS. Ghafir[40]: 29)

Firaun merasa dirinya diatas kebenaran dan Allah mengatakan bahwa orang yang paling merugi adalah orang yang mengamalkan keburukan tapi ia mengira diatas kebenaran.  Allah subhnahu wa ta’ala mengatakan dalam surat Al-Kahfi:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا ﴿١٠٣﴾ الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا ﴿١٠٤﴾

Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi[18]: 104)

Kok bisa ada orang yang melakukan kesesatan tapi mengira diatas kebaikan? Faktor pertama karena kebodohan, faktor yang kedua karena adanya syubhat. Dia mengira alasan dan argumen yang ia pegang itu sebagai sebuah kebenaran. Orang-orang musyrikin Quraisy menganggap bahwa apa yang mereka pegang dari nenek moyang mereka, itulah kebenaran. Maka dari itu orang-orang musyrikin Quraisy selalu mengajak dialog Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ucapan:

فَأْتُوا بِآبَائِنَا إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ ﴿٣٦﴾

maka datangkanlah buktinya dari bapak-bapak kami jika kamu memang orang-orang yang benar”.” (QS. Ad-Dukhan[44]: 36)

Mereka menganggap bahwa yang dilakukan oleh bapak-bapak mereka itulah kebenaran dan setelah itu tidak mau melihat lagi kepada hujjah orang-orang yang menyelisihinya. Sehingga pada waktu itu tertutup matanya, telinganya, hatinya. Padahal Fir’aun sebetulnya tahu bahwa Nabi Musa benar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا ۚ فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ ﴿١٤﴾

Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.” (QS. An-Nam[27]: 14)

Simak pada menit ke – 15:20

Simak dan Download MP3 Kajian Tafsir Al-Quran: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 134 – 136


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/45429-tafsir-surat-al-baqarah-ayat-134-136/